Saya yakin hampir bila semua orang ditanya arti kata kaya, maka
mereka akan mengubungkannya dengan hal-hal yang terkait dengan materi.
Kaya berarti memiliki materi berlimpah lebih dari kebutuhan, kaya
diartikan dengan memiliki rumah mewah, mobil lebih dari satu, Kaya
berarti bisa memenuhi secara melimpah kebutuhan tersier-nya. Tapi
benarkah demikian?
Tapi justru itulah menariknya! Ketika kita justru mencoba membalik
paradigma kita, jangan-jangan persepsi kita akan sebuah kekayaan, pelan
tapi pasti menuju kepada definisi yang akan menjebak kita untuk lama
kelamaan semakin membuat kita melihat sesuatu secara keliru. Karena bagi
paradigma sebagian besar kita tentunya, akan membuat definisi
sederhana, bahwa hidup sebaiknya kaya, ketika kaya berarti memiliki
harta lebih, maka kesimpulan sederhananya adalah hidup untuk menumpuk
harta berlebih agar bisa baik adalah lebih baik. Hmm,.. mengkhawatirkan
memang..
Sehingga ada baiknya kita tetap berupaya mempertanyakan paradigma
mainstream itu, berangkat dari pemahaman bahwa apa yang sudah
direnungkan para budayawan sesepuh Jawa waktu itu adalah sesuatu yang
seharusnya. Bahwa betul memang, hidup sebaiknya kaya, tapi kaya tidak
selalu berimplikasi pada memiliki harta, nah! Sehingga kalimat
sederhananya adalah Kaya Tanpa Harta,.. Sugih Tanpa Banda…
Kalau sifat kaya tidak selalu berkonotasi kepada kepemilikan harta,
lalu apakah definisi kaya secara umum? Ada sebuah pendapat yang selama
ini menjadi pemahaman saya, dan juga terasa pas bagi logika di kepala
saya, yaitu bahwa sifat kaya akan terjadi ketika kita bisa memenuhi
setiap kebutuhan kita. Disinilah kuncinya! Ada kebutuhan di sana. Maslow
boleh saja berpendapat tentang “Five Human Basic Needs”, dan hal itu
menurut saya memang sesuatu yang penting untuk memahami orang lain, tapi
ketika kita memahami diri kita, justru seharusnya kita mampu melihat
bahwa kebutuhan bagi masing-masing diri kita adalah pilihan. Dan jangan
lupa, kemampuan untuk memilih, menurut Covey, termasuk dalam anugrah
manusiawi yang paling mendasar.
Karena saat ini, kebebasan manusia akan memilih sepertinya
terdistorsi ketika definisi ‘kebutuhan’ bagi sebagian besar dari kita,
terganggu oleh nafsu yang bernama ‘keinginan’. Sehingga bila definisi
kaya adalah ‘bisa memenuhi semua kebutuhan’, kelompok ini akan
mengaburkannya dengan definisi ‘bisa memenuhi semua keinginan’. Inilah
yang kemudian membawa terminologi kaya pada hal-hal yang bersifat
materi. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar kita melihat
materi sebagai ‘keinginan’ yang utama.
Dan bila itu kita kembalikan pada kearifan “Sugih Tanpa Banda”,
kembali saya harus takjub ketika menyadari bahwa bahwa kalimat ini, oleh
penglihatan saya memberi sebuah pencerahan bukan pada bagaimana kita
mencari-cari kalau kaya tanpa memiliki harta itu bagaimana, tapi justru
kembali kepada masing-masing diri kita untuk dapat membuat garis tebal
yang jelas antara apa sebenarnya kebutuhan kita dan apa sebenarnya
keinginan kita. Dan untuk kaya, sebenarnya yang perlu kita lakukan
adalah (sekedar) mampu memenuhi kebutuhan kita.
No comments:
Post a Comment